Mari Mengingat Kembali Perjuangan Ibu Kartini
Hari ini kita merayakan Hari Kartini. Seperti umumnya diketahui, hari Kartini adalah perayaan hari kelahiran Ibu Kartini, seorang perempuan yang menjadi penggerak sekolah untuk perempuan.
Sebagai perempuan, sepertinya wajib banget ya kita berterima kasih pada jasa beliau ini.
Sayangnya, banyak yang ‘merayakan’ hari Kartini untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran yang sepertinya kritis salah arah. Well, haters will be haters memang. Tapi ternyata banyak banget meme yang bertebaran dengan pesan seperti “Ibu Kartini, dicinta oleh penjajah”, “ikutilah langkah ibu Kartini, menjadi istri ke empat”.
Membacanya tuh gimana ya, miris gitu rasanya. Walau juga nggak bisa dipungkiri kalau sarkasme itu ada benarnya juga. Ibu Kartini memang berkorespondensi secara aktif dengan teman-teman Belanda nya. Beliau juga betul menerima menjadi istri keempat dari pria yang dijodohkan oleh Bapaknya.
Tapi buat saya, justru kekurangan itulah yang membuat kita perempuan Indonesia harus semakin menghargai Ibu Kartini. Karena ini menunjukkan kualitas lain beliau, yaitu dapat melihat kesempatan dan menghargai budaya.
Pada masanya, perempuan Indonesia tidak ada yang bersekolah. Laki-laki Indonesia yang bersekolah saja hanya mereka-mereka yang kaya. Sedangkan semua orang Belanda, baik laki-laki maupun perempuan bersekolah. Kartini adalah satu dari sedikit perempuan yang beruntung, diberi izin bersekolah, walau hanya sampai akil balik karena menurut tradisi perempuan yang sudah akil balik harus dipingit untuk persiapan dinikahkan.
Tapi mungkin karena pernah bersekolah, pemikiran Kartini lebih luas dan maju daripada perempuan Indonesia lainnya. Kalau jaman sekarang mungkin dia diomongin dibelakang sama teman-temannya karena “nggak ngerti gue dia sebenarnya ngomongin apaan”. Hahaha. Nah, jadi dengan siapa lagi donk Kartini bisa ngobrol nyambung? Ya tentu saja dengan teman-teman Belandanya. Kartini melihat kesempatan untuk berdiskusi, mendapatkan Insight mengenai dunia luar yang tidak bisa dialaminya sendiri karena dia dipingit, bahkan mungkin mendapatkan bahan untuk diajarkan ke murid-murid di sekolahnya.
Walau dengan pemikiran yang maju, Kartini masih menjaga budaya nya. Pada masa itu sudah lazim seorang perempuan dijodohkan. Dan, menjadi selir juga bukan tabu lho. Malah banyak perempuan yang bertujuan hidup untuk menjadi selir para bangsawan. Walaupun istri keempat, tapi ternyata suaminya ini adalah satu-satunya calon yang bersedia memberikan izin Kartini untuk tetap membuka sekolahnya dan mengajar. Untuk zaman dulu, laki-laki seperti ini mungkin satu dari sejuta. Sayang untuk dilewatkan.
Mungkin buat kita sekarang, sekolah bukan lah suatu kemewahan. Hampir semua anak perempuan di kota-kota besar bersekolah. Bahkan ada yang mulai semenjak balita melalui playgrup, ada juga yang terus bersekolah seumur hidup sampai gelar berjejer dibelakang namanya. Juga tidak ada sekolah yang menolak seseorang hanya karena dia perempuan. Karena inilah mungkin kita lupa bahwa ada masanya perempuan harus berjuang melawan norma sosial hanya untuk bisa belajar.
Mungkin kita sekarang belum bisa memberdayakan perempuan lain seperti Ibu Kartini. Mungkin kita cuma bisa merayakan kartinian dengan pakai batik, kebaya dan mendandani anak kita dalam baju daerah. Atau seperti saya, cuma bisa mencurahkan hati dalam tulisan blog.
Tapi buat saya sekecil apapun itu, selama kita ada kesempatan untuk setahun sekali berpartisipasi, membaca dan menyebarkan lagi mengenai perjuangan dan jasa Ibu Kartini, itu sudah cukup. Karena bahkan langkah yang kecil, apabila dilakukan berkali-kali, lama-lama jarak yang jauh juga akan tercapai.
Selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia
Habis gelap terbitlah terang
By Sissy • Menulis blog ini di iPhone. Work in Petshopbox Studio & STCKRmarket by day, blogger by midnight, wifey & mommy 24/7. Follow instagram, twitter, mompreneur blog
Baca Juga:
- Apa Arti Menjadi Seorang Perempuan?
- 6 Alasan Saya Memilih Daycare dan bukan Nanny
- Kenapa Awkarin seharusnya bernama Awkeren
Disclaimer: Artikel ini tidak disponsori oleh pihak manapun. Penulis tidak menerima permintaan, penawaran, bayaran atau service/jasa yang brand nya direview didalam artikel ini. Seluruh isi artikel ini adalah pendapat pribadi penulis.