Darurat Pendidikan Indonesia! Guru Takut Murid Adalah Kenyataan.
Si kecil nggak mau menuruti aturan di daycarenya, dan gurunya terlalu takut untuk mendisiplinkannya.
Sebagai working mom yang (sementara ini masih) berprinsip nggak ingin pakai nanny, daycare jelas adalah solusi bagi kelancaran kegiatan harian saya. Boleh dibilang saya beruntung, tepat disebelah kantor saya adalah daycare.
Pada saat saya memutuskan untuk memasukkan si kecil ke daycare tersebut, alasan utamanya tentu saja jarak dan biaya. Walau saya tertarik dengan daycare yang kelihatannya profesional dengan pengasuh dan anak-anak berseragam yang biaya bulanannya setara UMR di Bandung, tapi saya merasa oke dengan kesahajaan daycare tetangga ini yang notabene juga lebih murah. Tidak ada yang pakai seragam, menu makan siangnya homemade bukan catering balita, malah beberapa kali suami salah satu pengasuh di daycare memanjat pohon jambu air di halaman buat diberikan kepada anak-anak yang dititipkan.
Selain itu saya juga punya pemikiran kalau biasanya sekolah makin mahal biasanya gurunya makin nggak berkutik didepan orang tua murid. Saya pribadi sih nggak suka sekolah macam ini, karena salah satu tugas guru adalah mengajarkan kedisiplinan, dan kadang kita orang tua terlalu sayang anak untuk bisa tegas mendisiplinkan mereka.
Singkat cerita setelah sebulan si kecil dititipkan di daycare saya baru tahu kalau dia nggak mau menuruti salah satu aturan disana. Percakapan ini terjadi pada saat saya menjemput si kecil di suatu sore.
SY(Saya): Loh, kok kamu pake sepatu di dalam sekolah sih?
PD(Pengasuh Daycare): Iya, dia nggak suka sepatunya dibuka. Kalau dibuka nangis. Jadi kita biarin aja dipake.
SY: Tapi khan peraturannya kalau masuk ruangan harus lepas sepatu khan?
PD: Iya sih Bun. Tapi daripada nangis terus gapapalah dipake aja.
SY: Padahal kalau sudah aturannya harus lepas sepatu, dilepas aja. Gapapa nangis. Belajar juga.
GR: Tapi khan Bun kalau dilepas terus dia nangis terus, khan Bunda disebelah bisa denger dia nangis terus. Nanti gimana … (dengan muka khawatir).
Ho. Ok. I got it. Para penjaga daycare nggak berani mendisiplinkan si kecil untuk ikut aturan lepas sepatu di dalam ruangan, karena mereka takut saya marah kalau si kecil nangis seharian karena sepatunya dibuka.
Dan logis kalau mereka khawatir. Karena kantor saya lokasinya pas disebelah daycare ini. Malah sebagian bangunannya menempel.
Si kecil di umurnya yang sekarang 20 bulan pada saat saya menulis ini, memang belum jelas bicaranya. Jadi kalau ada yang nggak disukai, ya langsung nangis. Disuruh mandi, diganti bajunya, makanannya ga enak, cemilannya habis, TV dimatiin dan puluhan hal lainnya bisa bikin dia langsung mewek. So, sebenarnya kalau dia kedengaran nangis di daycare pun, saya berasumsi ada hal yang bikin dia kesal.
Tentu saja saya juga nggak naif. Kalau si kecil menangis terus-terusan, tentu saya akan tanyakan penyebabnya pada pengasuhnya. Selain itu si kecil juga tidak menunjukkan tanda-tanda perlakuan yang salah, misalnya ada tanda-tanda kekerasan fisik atau menunjukkan ketakutan yang berlebihan pada saat akan saya antar ke daycare atau pada salah satu pengasuh.
Terus terang sih saya agak kecewa. Memang kasus-kasus guru vs murid vs ortu murid belakangan sangat mendiskreditkan guru. Well, memang sebagian guru masih ada yang menggunakan metode mendisiplinkan ala militer. Tapi saya rasa kita harus ingat juga kalau banyak guru usianya sudah lanjut usia atau masih digaji dibawah UMR membuat mereka harus punya pekerjaan lain. Dengan reformasi mental ala Jokowi banyak dari mereka malah harus mengejar pendidikan yang kurang dengan kuliah lagi dan memeras otak memahami kurikulum baru yang berbasiskan digital. Wajar kalau mereka lelah dan mudah emosi.
Dilain pihak, banyak orang tua yang kini cenderung memilih metode positive reinforcement dalam membesarkan anak mereka. Jangankan dipukul tangannya pakai penggaris, anak itu bahkan mungkin tidak pernah mendengar kata tidak dari orangtuanya. Bisa dibilang juga mungkin sedikit-sedikit lapor polisi dan panggil pengacara ini salah satu kebablasan dari rakyat Indonesia semakin melek hukum.
Bagi manteman yang menganut pola pendidikan positive reinforcement, boleh tidak setuju dengan saya. Tapi saya lebih suka menganut pola pendidikan tough love. Rencananya saya akan beralih ke pola positive reinforcement setelah si kecil lebih besar, mungkin setelah SD.
Well tapi saya nggak ingin membicarakan tentang pola pengasuhan. Back to topic.
Akhirnya saya pilih berinisiatif. Tiap sampai di depan pintu bangunan daycare, saya langsung buka sepatu si kecil. Dan sudah pasti dia langsung menangis keras. Tapi tiap kali saya cuma akan mengatakan padanya
Disini kamu nggak boleh pakai sepatu. Jadi harus dilepas. Pakai lagi nanti kalau kamu mau main keluar.
Berpikir anak 20 bulan nggak akan mengerti instruksi kompleks begitu? guess what, dia mengerti. Batita mengerti lebih banyak dari yang kita kira, mereka hanya belum bisa mengekspresikan saja. Hasilnya, si kecil akan pegang terus sepatunya sampai dia merasa nyaman dan mulai bermain dengan yang lain.
Mungkin memang benar, sebagus apapun institusi pendidikan yang kita pilih untuk anak kita, banyak nilai-nilai hidup yang tetap harus mulai dari orang tua. Kedisiplinan salah satunya.
by Sissy • a geek with a brain full of creative thoughts who loves tea, chihuahua, pop-punk music, doodling and writing. Follow on Instagram & Twitter and read her more serious blog.