Menuju Mindfulness Dengan Membaca The Things You Can See Only When You Slow Down
Mindfulness adalah hal baru buat saya. Saya bahkan baru mengoogling kata itu sekitar 8 bulan lalu, tepat waktu akan dipanggil wawancara kerja di Global Sevilla Puri Indah.
Waktu ditanya apa yang saya tahu tentang mindfulness, saya jujur bilang nggak tau dan asal aja ngejawab tentang meditasi, mengenali diri sendiri dan mendamaikan pikiran. Untung ternyata memang nggak salah juga.
Saya sudah membaca banyak ebook gratis dan essay tentang mindfullness di internet, tapi tidak ada yang menjelaskan lebih baik mengenai mindfulness dibandingkan buku berjudul “The Things You Can See Only When You Slow Down” ini.
Buku ini ditulis oleh Hae Min Sunim, seorang biksu dan dosen dari Korea Selatan. Pertama saya melihat buku ini, saya merasa ragu.
- Sebagai seorang biksu, tentulah beliau punya kesempatan lebih banyak mempraktekkan mindfulness di kuil dan kehidupan sehari-harinya.
- Sebagai seorang biksu, beliau adalah simbol dari kepercayaannya. Saya tidak mengenal banyak mengenai ajaran agama Budha. Walaupun saya terbuka untuk mempelajari mengenai agama Budha, tapi rasanya mindfulness yang saya cari bukanlah bagian dari agama Budha sendiri jadi tentu kurang relevan bagi saya.
Tapi ada hal lain yang membuat saya akhirnya mengambil buku ini dari rak perpustakaan dan sekarang, 7 bulan kemudian, saya masih belum mengembalikannya (maaf ya Mbak pustakawati) dan membacanya setiap hari Rabu di secondary mindful session yang diadakan di sekolah.
Apa yang membuat saya yakin? Karena Hae Min Sunim berasal dari Korea Selatan. Sebagai penggemar K-entertainment saya tahu pasti bagaimana keras, menuntut, kaku dan berorientasi pada standar ideal orang-orang disana.
Segala sesuatu dituntut untuk cepat, berkualitas, dan sesuai dengan standar ideal masyarakat. Hal yang berbeda atau kurang dari standar ideal dianggap sebagai kekurangan atau dosa. Tekanan sosial menuntut semua orang untuk mengikuti standar yang dianggap umum dan bullying sangat parah, kalau baca komen di Lambe Turah saja sudah mengelus dada jangan pernah berpikir untuk survive di Korea.
Jadiiii, saya pikir buku ini yang jadi best seller di Korea Selatan selama 40 minggu (kurang lebih 10 bulan) di tahun 2012 dan terjual sebanyak 3 juta copy dalam 3 tahun, seharusnya mampu menyampaikan pesan mindfulnessnya dengan baik kepada masyarakat yang, menurut saya, sangat tidak mindful. Dan mungkin, pesan-pesannya juga dapat dipraktekkan dengan mudah.
Selain itu, ilustrasi-ilustrasi di buku ini juga sangat bagus.
Buat saya, membaca buku ini adalah proses untuk mengevaluasi diri sendiri dan memperbarui sudut pandang saya atas semua aspek didalam hidup. Saya nggak baca sekali beres, malah saya hanya baca bukunya di hari Rabu pagi saja. Hehehe.
Tapi saya juga nggak menganjurkan untuk dibaca-cepat. Karena bukunya sendiri juga menganjurkan untuk membaca pelan-pelan, halaman-per-halaman, dan berikan waktu bagi diri untuk refleksi dan membuat hubungan dengan hal-hal yang sudah pernah kita alami sesuai dengan bagian yang kita sudah baca.
Pada akhirnya, pelan-pelan saya juga mengobati diri saya sendiri.
Hal yang agak mengejutkan tentang buku ini adalah saya hampir tidak merasakan unsur agama Budha didalamnya. Walaupun tentu saja ada pepatah Budhist atau gaya hidup Zen yang tentunya merupakan bagian dari gaya hidup penulis. Justru aneh kalau tidak ada bukan?. Bisa jadi karena saya juga tidak tahu banyak, mungkin manteman yang Budhist justru merasakan kebalikannya. Kata-kata dan kalimat-kalimat di dalam buku ini mengalir dengan lancar.
Saya juga tidak menemukan jargon-jargon seperti “mindful”, “meditasi” dan lainnya yang bertebaran di buku tentang mindfullness lainnya. Pilihan katanya-katanya relatif pendek-pendek, mudah, simpel, tidak menggurui, tidak menghakimi, tapi sangat terasa impactnya. terasa seperti kita sedang ngobrol langsung dengan penulis.
Saat saya membaca buku ini, saya menyadari betapa seringnya saya jahat sama diri sendiri. Saya sering memaksakan diri untuk mengontrol hal-hal yang saya tidak bisa kontrol, menelantarkan hal yang bisa saya kontrol, tidak menghargai diri sendiri, kurang menyadari perasaan dan tidak mampu untuk melepaskan hal-hal yang sesungguhnya melukai diri saya sendiri…tanpa disadari, seringkali hal ini juga melukai orang lain.
Apa yang saya pelajari tentang mindfulness dari buku ini adalah mencintai diri sendiri dan memberi perhatian lebih pada diri sendiri, sehingga saya bisa memberikan yang terbaik untuk diri saya sendiri dan orang-orang yang saya sayangi.
Saya belajar untuk tidak mempermasalahkan lagi apa yang ada di masa lalu, karena tidak ada yang bisa dilakukan juga. Saya belajar untuk tidak berusaha mengontrol apapun yang ada di masa depan, karena hanya menghabiskan energi saja untuk memprediksi semua kemungkinan yang pada akhirnya akan berjalan sesuai dengan takdir Yang Maha Kuasa.
Saya belajar untuk mengontrol apa yang sudah saya miliki sekarang, meninggalkan yang sudah terjadi dan mempersiapkan untuk yang akan datang. Saya belajar untuk merangkul sisi baik dan buruk saya. Belajar untuk tidak takut, bangga, menyukai dan mencintai diri sendiri. Saya belajar mengenali kekecewaan, kemarahan dan kekhawatiran.
Saya juga belajar untuk membiarkan orang lain disekitar saya untuk menjadi diri mereka sendiri, menghargai perasaan mereka, sudut pandang mereka dan perjalanan hidup yang sudah mereka lalui.
Sekarang, kalau ada yang bertanya pada saya
“apakah itu mindfulness?”
jawaban saya adalah
Mindfulness adalah tentang mencintai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar saya dengan tulus. Pada saat kamu menyayangi seseorang, kamu memberi perhatian padanya, memperlakukan mereka dengan baik, menghargai, sabar, memaafkan mereka. Kamu tidak akan berlaku egois, tidak akan mengontrol mereka, kamu membebaskan mereka menjadi diri mereka sendiri.
Karena saya merasa sangat terbantu dengan buku ini, saya juga meminjamkan buku ini kepada sepupu saya dan menganjurkan kakak saya untuk membacanya, terutama pada saat mereka sedang mengalami konflik. Saya bersyukur rekomendasi saya tidak salah, karena mereka juga merasakan menfaatnya.
Apabila manteman mengharapkan teori-teori mindfulness berupa panduan step-by-step untuk mencapai mindfullness, buku ini jelas bukan untuk kamu. Tapi bagi manteman yang tertarik untuk mengenal mindfulness dari kata-kata dan sudut pandang seseorang yang mempelajari dan mempraktekkan mindfulness di masyarakat yang sangat memberikan tekanan hidup sangat keras, maka kamu bisa banyak mendapatkan pelajaran hidup yang berharga dari buku ini.
Kira-kira itu yang bisa saya ceritakan tentang buku The Things You Can See Only When You Slow Down. Yang ingin baca bisa langsung beli di Tokopedia, Shopee, Periplus atau untuk versi eBook bisa langsung unduh di Google PlayBook.
Penasaran sama buku ini? Yuk tanya-tanya aja ke saya dulu kalau masih ragu untuk beli. Kita blogwalking juga yuk. Thank you for reading
2 Comments
Prima
“membebaskan mereka menjadi diri mereka sendiri”
Hmm, kalau seperti ini…sepertinya saya lebih sering nggak mindful-nya dari pada mindful. Karena saya sering memaksakan mereka menjadi seperti yang saya mau.
Karena banyak nggak berhasilnya, akhirnya saya yang stres sendiri.
Parahnya, karena stres butuh pelampiasan. Saya memilih melampiaskan ke makhluk kecil yang belum bisa apa-apa secara mandiri…anak saya,
Coba nanti main-main ke Google Play Book ah…terima kasih sharingnya.
arianne
Sama-sama, terima kasih untuk komentarnya. Praktik mindfullnessnya sendiri memang susah, latihannya pun juga perlu sabar. Semoga nanti dengan membaca buku ini, paling tidak lebih sayang dan legowo kepada diri sendiri dan juga keluarga :).